Situ Cileunca

Share this history on :
Situ Cileunca


SITU Cileunca menjanjikan panorama alam nan indah. Tak heran, dulu, orang-orang sempat menjuluki tempat tersebut sebagai Swiss-nya Indonesia. Namun, di balik keindahannya, kawasan ini menyimpan cerita-cerita mistis, yang oleh sebagian warga sekitar masih dipercayai.

PESONA keindahan Situ Cileunca di Kp.
Cibuluh Desa Pulosari Kec. Pangalengan Kab. Bandung.* HAZMIRULLAH/”PR”

SITU Cileunca berada 45 km sebelah selatan Kota Bandung, tak jauh dari Kota Kecamatan Pangalengan. Genangan air seluas 180 hektare itu diapit dua desa, yakni Warnasari dan Pulosari. ”Sebenarnya, Situ Cileunca itu ada dua buah. Cileunca Satu memiliki luas 210 hektare dan ini, Situ Cileunca Dua, memiliki luas 180 hektare,” ungkap Asep Jabog (50), salah seorang tokoh masyarakat setempat, kepada ”PR”, belum lama ini.

Ia berkisah, dulu, Situ Cileunca merupakan kawasan milik pribadi seorang Belanda. ”Namanya Kuhlan,” katanya.

Pembangunan situ tersebut dilaksanakan selama 7 tahun (1919-1926) dengan cara membendung aliran kali Cileunca. ”Uniknya, berdasarkan penuturan orang-orang tua dulu, situ ini dibangun oleh banyak orang. Tak menggunakan cangkul, tapi menggunakan halu,”ujarnya.

Pembangunan situ tersebut, tuturnya, dikomandani dua orang pintar, yakni Juragan Arya dan Mahesti. Maka, tak heran, makam Mahesti dijadikan tempat keramat oleh masyarakat setempat. ”Soal yang suka berkunjung, tak cuma orang sini, tapi banyak juga orang dari luaran,” kata Ade Rowi (35), salah seorang tukang perahu di sana.

Ada banyak kisah mistis di Situ Cileunca. Satu yang sering didengar orang adalah ”pertunjukan wayang”. Asep Jabog membenarkan hal tersebut. ”Tapi, sekarang, sudah jarang terdengar. Da kalakumaha oge, sanget mah kumaha sungut, ceuk basa Sundana mah. Dulu, berdasarkan cerita, ada sekelompok penabuh wayang (dalang berikut para sinden dan nayaga,- red.) yang tenggelam di Situ Cileunca. Sejak itu, masyarakat sering mendengar raramean. Padahal, tidak ada apa-apa,” kata Asep.

Asep juga mengatakan, sebenarnya, ada dua siluman yang terkenal di Situ Cileunca. Lulun Samak dan Dongkol. Lulun Samak adalah “sesuatu” yang mematikan dengan cara menggulung mangsa. Sementara, Dongkol adalah “sesuatu” yang berwujud kepala kerbau.

”Tapi, sekarang, keduanya sudah tidak ada lagi di sini. Dengar-dengar mah, ada di Situ Bagendit. Soalnya, Situ Cileunca ini ’berhubungan’ dengan dua situ lainnya, yakni Bagendit dan Patengan. Coba saja lihat, kalau Cileunca surut, yang lainnya juga surut,” ujar Asep Jabog.

Hingga kini, kisah mistis di Situ Cileunca tetap saja berlangsung. Tentu, dalam taraf yang tidak membahayakan. ”Ya, jangan terkejut ketika berkemah di sini ada yang tiba-tiba nimbrung,” ujar Asep.

Satu hal yang dia khawatirkan adalah situasi objek wisata yang memanas. Dalam penilaiannya, penempatan kompleks peristirahatan di Situ Cileunca tidaklah tepat. “Jigana, baheula, keur nyieunna teu make bismillah-bismillah acan. Jadi, menta tumbal. Saya khawatir, tumbal yang diminta itu terjadi dalam waktu dekat ini. Soalnya, situasi di tempat tersebut, akhir-akhir ini, memanas,” ujar Asep Jabog.

“Ayam kampung”

Di siang hari, apalagi ketika langit cerah, Situ Cileunca benar-benar memanjakan pengunjung dengan keindahan alamnya. Dari atas perahu yang melaju perlahan di riak tenang air danau, pengunjung dapat memutar pandangan, menatap hamparan hijau kebun teh. Nun jauh di sana, tiga gunung berdiri dengan jemawa. Gunung Malabar, Wayang, dan Gunung Windu.

“Malam hari, di sini juga ramai. Banyak ayamnya. Bukan ayam biasa. Ditanggung nikmat,” Ade Rowi berucap. Tak berseloroh dia. Meski tak tahu persis berapa jumlah “ayam” yang ada, Ade mengaku bisa mempertemukan pelanggan. Tinggal mengontak koordinator. “Soal tempat, kebanyakan orang menggunakan fasilitas saung di kampung seberang danau. Sewanya, Rp 150.000,00 semalam,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, “ayam-ayam kampung” yang ada di sana tak berlaku agresif. Dalam kesehariannya, mereka beraktivitas sebagaimana biasa. Malam pun, mereka tak kelayapan, agresif mencari pelanggan. “Nah, kalau ada yang pesan, barulah mereka keluar rumah. Kalau enggak, ya tinggal saja di rumah,” tuturnya.

Kebanyakan, katanya, “ayam-ayam kampung” merupakan produk perceraian di usia yang masih belia. ”Soal tarif, ya paling-paling Rp 50.000,00 sampai Rp 150.-000,00,” kata Ade Rowi. (Hazmirullah/”PR”)***

Sumber : Harian Pikiran Rakyat, Selasa, 25 April 2006
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : admin@infokotabandung.com
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

Posting Komentar